Thursday, July 26, 2007

Sepeda Baru


Click Get Jam Digital for link DigitalClock to your page




Sebuah sepeda WimCycle type RoadTech 20 hadiah dari ActiveFurniture krn q sering bantu ayah jaga toko Trims ya Oom Eko.  Jd 2 bh sepeda q........

Thursday, October 19, 2006

Shalat Tarawih atau Tahajjud di Bulan Ramadhan

Hikmah Ramadhan 8

Masalah shalat tarawih dan tahajjud memang seringkali menjadi bahan perbedaan pandang para ulama.
Ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya shalat tarawih itu adalah shalat tahajjud juga. Bedanya hanya kalau dilakukan di bulan Ramadhan, namanya menjadi shalat tarawih. Sedangkan kalau dikerjakan bukan di bulan Ramadhan, namanya tahajjud.
Berangkat dari pendapat ini, maka bila seseorang telah melakukan shalat tarawih, tidak perlu lagi melakukan shalat tahajjud. Ditambah lagi apabila sudah shalat witir, karena menurut pendapat ini, setelah shalat witir tidak boleh lagi ada shalat di malam itu.
Namun di sisi lain, umumnya ulama membedakan antara shalat tarawih dengan tahajjud. Keduanya punya dasar yang berbeda. Semua hadits yang berbicara tentang shalat malam Rasulullah SAW yang 8 atau 11 atau 13 rakaat, menurut pendapat ini merupakan dalil tentang shalat malam (tahajjud), bukan shalat tarawih.
Shalat tarawih punya dalil tersendiri.
Dari Aisyah Ra. sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam pernah melaksankan sholat kemudian orang-orang sholat dengan sholatnya tersebut, kemudian beliau sholat pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya tambah banyak kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat dan Rasulullah SAW tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Dan di pagi harinya Rasulullah SAW berkata, “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (sholat) bersama kalian kecuali bahwasanya akau khawati bahwa sholat tersebut akan difardukan.” Rawi hadis berkata, "Hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan.” (HR Bukhori 923 dan Muslim 761)
Dahulu Rasulullah SAW pernah melakukannya di masjid bersama dengan beberapa shahabat. Namun pada malam berikutnya, jumlah mereka menjadi bertambah banyak. Dan semakin bertambah lagi pada malam berikutnya.
Sehingga kemudian Rasulullah SAW memutuskan untuk tidak melakukannya di masjid bersama para shahabat. Alasan yang dikemukakan saat itu adalah takut shalat tarawih itu diwajibkan. Karena itu kemudian mereka shalat sendiri-sendiri.
Hingga datang masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang menghidupkan lagi sunnah Nabi tersebut seraya mengomentari, ”Ini adalah sebaik-baik bid‘ah”. Maksudnya bid‘ah secara bahasa yatiu sesuai yang tadinya tidak ada lalu diadakan kembali.
Semenjak itu, umat Islam hingga hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan sebutan shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam Ramadhan.
Adapun tahajjud atau qiamullail, adalah shalat yang biasa dilakukan Rasulullah SAW baik di malam Ramadhan atau di luar Ramadhan. Dan shalat itu bukan shalat tarawih itu sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa pada malam Ramadhan, Rasulullah SAW shalat tarawih di awal malam ba‘da isya‘ lalu tidur dan pada akhir malam beliau melakukan shalat tahajjud hingga sahur.
Nampaknya hal itu pula yang hingga kini dilakukan oleh sebagian umat Islam di berbagai belahan dunia.

Mo nggame @ http://www.miftahbanjar.com/halaman/games.html

Wednesday, October 18, 2006

Ada Semangat Dalam Ramadhan

Hikmah Ramadhan 7


Suatu ketika, seorang alim diundang berburu. Sang alim hanya dipinjami kuda yang lambat oleh tuan rumah. Tak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya. Semua kuda dipacu dengan cepatnya agar segera kembali ke rumah. Tapi kuda sang alim berjalan lambat. Sang alim kemudian melepas bajunya, melipat dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda yang mereka tunggangi lebih cepat. Dengan perasaan heran, tuan rumah bertanya kepada sang alim, ”Mengapa bajumu tetap kering”. ”Masalahnya kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju”, jawab sang alim ringan sambil berlalu meninggalkan tuan rumah.
Dalam perjalanan hidup, kadangkala kita mengalami kesalahan orientasi (persepsi) seperti tuan rumah dalam cerita di atas. Kita menginginkan sesuatu namun tidak memiliki orientasi seperti yang diinginkan, sehingga akhirnya kita tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Begitu pula dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Banyak orang yang menginginkan ibadahnya di bulan Ramadhan dapat merubah dirinya menjadi lebih baik. Namun setelah Ramadhan, ternyata sifat dan perilakunya kembali seperti semula. Tak berubah secara signifikan. Ia hanya mendapatkan lapar dan haus. Persis seperti yang disabdakan Nabi saw, ”Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa pun, kecuali lapar dan haus”. Hal itu karena orientasinya keliru. Ia tidak tahu hikmah di balik keagungan bulan Ramadhan.
Salah satu dari sekian banyak hikmah Ramadhan yang sering dilupakan orang adalah fungsinya sebagai pembangkit semangat hidup. Ramadhan sesungguhnya adalah bulan motivasi (syahrul hamasah). Ramadhan semestinya mampu menjadikan setiap muslim yang beribadah di dalamnya menjadi termotivasi hidupnya. Coba kita lihat apa yang terjadi pada diri nenek moyang kita (para sahabat dan ulama sholihin) setelah ditempa Ramadhan. Mereka menjadikan Ramadhan sebagai ajang pembakaran semangat yang membara. Sejarah mencatat dengan tinta emas sepak terjang mereka yang produktif. Banyak orang yang tak tahu, karena memiliki motivasi yang tinggi, umat Islam terdahulu menjadi penguasa dunia selama lebih kurang 14 abad. Lebih lama daripada kejayaan Eropa. Apalagi dari Amerika yang baru berjaya di akhir abad ini.
Kejayaan Islam yang demikian lama di masa lalu tak bisa dipisahkan dari semangat nenek moyang kita untuk selalu bersemangat dan produktif dalam berkarya. Beberapa contoh bisa disebutkan disini. Ibnu Jarir, misalnya, mampu menulis 14 halaman dalam sehari selama 72 tahun. Ibnu Taymiyah menulis 200 buku sepanjang hidupnya. Imam Ghazali adalah peneliti di bidang tasawuf, politik, ekonomi dan budaya sekaligus. Al Alusi mengajar 24 pelajaran dalam sehari. Sedang Jabir bin Abdullah rela menempuh perjalanan selama satu bulan demi mendapatkan satu riwayat hadits. Fatimah binti Syafi’i pernah menggantikan lampu penerangan untuk ayahnya (Imam Syafi’i) sebanyak 70 kali. Semangat mereka terangkum dalam perkataan Abu Musa Al Asy’ari ra yang pernah ditanya oleh sahabatnya, ”Mengapa Anda tidak pernah mengistirahatkan diri Anda?” Abu Musa menjawab, ”Itu tidak mungkin, sesungguhnya yang akan menang adalah kuda pacuan!” Suatu ungkapan indah yang menggambarkan semangat yang membara, jiwa yang selalu ingin berkompetisi, berani dan pantang menyerah.
Semangat Itu Ada di Depan Kita Semangat nenek moyang kita yang luar biasa dalam beramal tak bisa dilepaskan dari orientasi mereka yang benar terhadap fungsi ibadah dalam Islam, termasuk fungsi ibadah Ramadhan sebagai ajang melejitkan motivasi (achievement motivation training). Beda dengan kebanyakan kaum muslimin saat ini yang lebih memahami ibadah Ramadhan sebagai kegiatan seremonial dan tradisi tanpa makna.
Beberapa bukti yang menunjukkan fungsi Ramadhan sebagai bulan pemotivasian adalah :
1. Shaum (puasa) Tahukah Anda bahwa kekuatan semangat dapat mengalahkan kekuatan fisik? Itulah yang Allah latih kepada kita di bulan Ramadhan. Selama sebulan kita dilatih untuk mengalahkan nafsu yang berasal dari tubuh kasar kita; nafsu makan, minum, dan seksual. Kenyataannya, di bulan Ramadhan kita mampu mengalahkan tarikan nafsu demi memenangkan semangat ruh kita. Sayangnya, latihan itu tidak dilanjutkan dalam skala kehidupan yang lebih luas dan dalam waktu yang lebih lama setelah Ramadhan, sehingga banyak di antara kita yang hidupnya tidak bersemangat dan produktif dalam beramal. Padahal kunci motivasi itu adalah kemampuan mengalahkan kekuatan fisik. Itulah yang kita lihat pada diri Abdullah bin Ummi Maktum ra yang matanya buta tapi ngotot untuk ikut berperang bersama Rasulullah. Juga pada diri Cut Nyak Dien atau Jenderal Sudirman, yang pantang menyerah kepada pasukan kolonial walau dalam kondisi sakit parah.
2. Tarawih Ramadhan Tarawih Ramadhan sebagai syahrul hamasah juga terlihat dalam pelaksanaan sholat tarawih. Sholat tarawih artinya sholat (di waktu malam) yang dilakukan dengan santai. Di zaman sahabat, sholat tarawih biasa dilakukan sepanjang malam. Dengan bacaan yang panjang dan diselingi juga dengan istirahat yang lama. Bahkan pernah dalam satu riwayat, para sahabat melakukan sholat tarawih berjama’ah sampai menjelang subuh. Hikmah dari ibadah tarawih yang dilakukan dengan santai dan tidak terburu-buru adalah untuk membentuk watak kesabaran dan ketekunan. Kita tahu, kesabaran dan ketekunan adalah kunci dari motivasi. Tidak mungkin seseorang itu termotivasi dan produktif berkarya tanpa memiliki sifat sabar dan tekun. Watak inilah yang dimiliki oleh nenek moyang kita, sehingga mereka menjadi umat yang jaya di masa lalu. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan sholat tarawih di masa kini. Dimana waktunya tidak lebih dari 1-2 jam. Bahkan seringkali dilakukan tergesa-gesa. Hikmah tarawih sebagai ibadah yang melatih watak kesabaran dan ketekunan menjadi hilang, sehingga lenyap pulalah salah satu sarana pelatihan umat Islam untuk menjadi orang yang termotivasi hidupnya.
3. I’tikaf Sarana lain yang disediakan Allah SWT untuk membentuk ruh semangat adalah i’tikaf. Ibadah i’tikaf berarti diam menyepi (untuk mengingat Allah) dan meninggalkan kesibukan duniawi. Bagi laki-laki, i’tikaf dilakukan di mesjid. Sedang bagi perempuan dilakukan pada ruangan khusus di rumahnya. Nabi Muhammad saw tidak pernah meninggalkan ibadah i’tikaf ini sepanjang hidupnya. Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang sholih sepeninggal beliau. Sudah menjadi hal yang lazim di masa nenek moyang kita bahwa setiap Ramadhan mesjid penuh dengan orang-orang yang i’tikaf. Bandingkan dengan kondisi sekarang. I’tikaf menjadi ibadah yang asing bagi kebanyakan kaum muslimin. Padahal ibadah ini sangat penting untuk kontemplasi diri. Dalam i’tikaf, kita melakukan uzlah (pertapaan) sebagai modal penting untuk bangkit dari keterpurukan atau sebagai momen untuk berubah. Nabi Muhammad saw berubah dari manusia biasa menjadi manusia luar biasa (nabi) setelah uzlah ke Gua Hiro. Lalu Allah menggantikan sarana uzlah tersebut dengan i’tikaf untuk kita. Agar kita meniru perubahan menjadi manusia luar biasa tersebut seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. Allah meminta kita agar mengulangi momen uzlah tersebut setiap tahun, sehingga kita selalu termotivasi untuk berubah semakin baik dari tahun ke tahun. Dari bulan ke bulan. Bahkan dari hari ke hari.
Nabi saw bersabda, ”Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemaren, ia celaka. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemaren, ia merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemaren, ia beruntung”. Ramadhan sebagai bulan pemotivasian seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh kita semua. Sungguh beruntunglah mereka yang menggunakan Ramadhan sebagai ajang peningkatan motivasi hidupnya. Lalu dengan modal Ramadhan ia mengisi hari-harinya di luar Ramadhan dengan semangat yang membara untuk beramal melesat ke angkasa kemuliaan. Sungguh, ada semangat dalam Ramadhan.


Nggame : http://www.miftahbanjar.com/halaman/games.html

10 Indikasi Gagal Meraih Keutamaan Ramadhan

Hikmah Ramadhan 6

Berapa banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Apalah artinya berpuasa bila hanya meninggalkan kering pada kerongkongan dan lapar didalam perut?
Berikut ini adalah uraian yang patut direnungkan agar kita tidak termasuk orang-orang yang disinggung dalam hadits Rasulullah tersebut. Kegagalan yang dimaksud tentu bukan sebuah klaim yang pasti. Itu memang hak Allah SWT semata. Tapi setidaknya kita perlu berhitung dan memiliki neraca agar segenap amal ibadah kita di bulan Ramadhan ini benar-benar berbobot, hingga kita bisa lulus dari madrasah Ramadhan menjadi pribadi yang lebih berkualitas. Amiiin.
PERTAMA, Ketika kurang optimal melakukan ‘warming up’ dengan memperbanyak ibadah dibulan Sya’ban. Ibarat sebuah mesin, memperbanyak ibadah di bulan Sya’ban berpungsi sebagai pemanasan bagi rohani dan fisik untuk memasuki bulan Ramadhan.
Berpuasa sunnah, memperbanyak ibadah shalat, tilawah Al-Qur’an sebelum Ramadhan. akan menjadikan suasana hati dan tubuh kondusif untuk pelaksanaan ibadah di bulan puasa. Dengan begitu, puasa, ibadah malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, berdzikir, taqarrub kepada Allah, menjadi lebih lancar.
Mungkin, itulah hikmahnya kenapa Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Aisyah, disebutkan paling banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban. Bahkan sejak bulan Rajab, dua bulan menjelang Ramadhan, beliau sudah mengajarkan doa kepada para sahabatnya, “Allaahumma bariklanaa fii Rajaba wa Sya’ban, wa balighna Ramadhan. Ya Allah, berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah usia kami pada bulan Ramadhan.” Rasulullah dan para sahabat ingin mengkondisikan jiwa dan fisik mereka untuk siap menerima kehadiran tamu agung bulan Ramadhan.
KEDUA, Ketika target pembacaan Al-Qur’an yang dicanangkan minimal satu kali khatam, tidak terpenuhi selama bulan Ramadhan. Di bulan ini, pembacaan Al-Qur’an merupakan bentuk ibadah tersendiri yang sangat dianjurkan. Pada bulan inilah Allah SWT menurunkan wahyunya dari Lauhul Mahfudz kelangit dunia. Peristiwa ini disebut sebagai malam Lailatul Qadar. Pada bulan ini pula Jibril as biasa mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW.
Orang yang berpuasa dibulan ini, sangat dianjurkan memiliki wirid Al-Qur’an yang lebih baik dari bulan-bulan selainnya. Kenapa minimal harus dapat mengkhatamkan satu kali sepanjang bulan ini? Karena itulah target minimal pembacaan Al-Qur’an yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Ketika Abdullah bin Umar bertanya kepadanya, “Berapa lama sebaiknya seseorang mengkhatam Al-Qur’an?” Rasul menjawab, “Satu kali dalam sebulan.” Abdullah bin Umar mengatakan, “Aku mampu untuk lebih dari satu kali khatam dalam satu bulan.” Rasul berkata lagi, “Kalau begitu, bacalah dalam satu pekan.” Tapi Abdullah bin Umar masih mengatakan bahwa dirinya masih mampu membaca seluruh Al-Qur’an lebih cepat dari satu pekan. Kemudian Rasul mengatakan, “Kalau begitu, bacalah dalam tiga hari.”
KETIGA, Ketika berpuasa tidak menghalangi seseorang dari penyimpangan mulut seperti membicarakan keburukan orang lain, mengeluarkan kata-kata kasar, membuka rahasia, mengadu domba, berdusta dan sebagainya. Seperti yang sudah banyak diketahui, hakikat puasa tidak terletak pada menahan makanan dan minuman masuk masuk kedalam kerongkongan. Tapi puasa juga mengajak pelakunya untuk bisa menahan diri dari berbagai penyimpangan, salah satu yang dilakukan oleh mulut. Rasulullah SAW menyatakan bahwa dusta akan menjadikan puasa sia-sia. (HR. Bukhari).
Mulut merupakan salah satu bagian tubuh yang paling sukar untuk di kembalikan namun nilainya sangat mahal. Rasulullah berpesan, adakalanya kalimat buruk yang ringan diucapkan oleh seseorang, tapi karena Allah tidak ridha dengan kalimat itu, maka orang itu tercampak ke dalam neraka. Sebaliknya adakalanya kalimat baik yang ringan diucapkan oleh seseorang, tapi karena Allah ridha dengan kalimat itu, orang tersebut dimasukan ke dalam surga. (HR. Ahmad)
KEEMPAT, Ketika puasa tak bisa menjadikan pelakunya berupaya memelihara mata dari melihat yang haram. Mata adalah penerima informasi paling efektif yang bisa memberi rekaman kedalam otak dan jiwa seseorang. Memori informasi yang tertangkap oleh mata, lebih sulit terhapus ketimbang informasi yang diperoleh oleh indra yang lainnya.
Karenanya, memelihara mata menjadi sangat penting untuk membersihkan jiwa dan pikiran dari berbagai kotoran. Salah mengarahkan pandangan, bila terus berulang akan menumbuhkan suasana kusam dan tidak nyaman dalam jiwa dan pikiran. Ini sebabnya mengapa Islam mewasiatkan sikap hati-hati dalam menggunakan nikmat mata.
Puasa yang tak menambah pelakunya lebih memelihara mata dari yang haram, menjadikan puasa itu nyaris tak memiliki pengaruh apapun dalam perbaikan diri. Karenanya, boleh jadi secara hukum puasanya sah, tapi substansi puasa itu tidak akan tercapai.
KELIMA, Ketika malam-malam Ramadhan menjadi tak ada bedanya dengan malam-malam selain Ramadhan. Salah satu ciri khas bulan Ramadhan adalah, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menghidupkan malam dengan shalat dan do’a-do’a tertentu. Ibadah shalat di bulan Ramadhan yang biasa disebut shalat tarawih, merupakan amal ibadah khusus di bulan ini.
Tanpa menghidupkan malam dengan ibadah tarawih, tentu seseorang akan kehilangan momentum berharga. Selain itu di dalam shalat ini pula Rasulullah SAW mengajarkan do’a-do’a khusus yang insya Allah akan dijadikan oleh Allah SWT. Di antara do’a-do’a yang perlu diperbanyak dalam shalat tarawih adalah, “Allaahumma inni as alika ridhaaka wal jannah wa na’udzubika min sakhatika wan naar. Ya Allah aku memohon keridhaan-Mu dan surga-Mu. Dan aku mohon perlindungan dari kemarahan-Mu dan dari neraka-Mu...”
Para sahabat dahulu, berlomba untuk bisa melakukan shalat tarawih di belakang Rasulullah. Umar bin Kaththab bahkan berijtihad untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat, sehingga kaum muslimin lebih termotivasi untuk menghidupkan malam Ramadhan.
KEENAM, Jika saat berbuka puasa menjadi saat melahap semua keinginan nafsunya yang tertahan sejak pagi hingga petang. Menjadikan saat berbuka sebagai kesempatan balas dendam dari upaya menahan lapar dan haus selama siang hari. Bila ini terjadi, berarti nilai pendidikan puasa akan hilang.
Puasa, pada hakikatnya, adalah pendidikan bagi jiwa (tarbiyatun nafs) untuk mampu mengendalikan diri dan menahan hawa nafsu. Puasa itu adalah perisai. Sabda Rasulullah SAW seperti diriwayatkan Imam Bukhari. “Hanya dalam puasalah, seseorang dilarang melakukan perbuatan yang sebenarnya halal dilakukan. Hasil pendidikan itu, akan tercermin dalam pribadi orang-orang yang lebih bisa bersabar, menahan diri, tawakal, pasrah, tidak emosional, tenang dalam menghadapi berbagai persoalan.”
Puasa menjadi kecil tak bernilai dan lemah dalam unsur pendidikannya ketika upaya menahan dan mengendalikan nafsu itu hancur oleh pelampiasan nafsu yang dihempaskan saat terbuka.
KETUJUH, Ketika bulan Ramadhan tidak dioptimalkan untuk banyak mengeluarkan infaq dan shadaqah. Rasulullah SAW seperti digambarkan dalam hadits, menjadi seorang yang paling murah dan dermawan di bulan Ramadhan, hingga kedermawanannnya itu mengalahkan angin yang bertiup. Di bulan inilah, satu amal kebajikan bisa bernilai puluhan bahkan ratusan kali lipat di banding bulan-bulan lainnya. Momentum seperti ini sangat berharga dan tidak boleh disia-siakan. Keyakinan yang dikembangkan itu yang dikembangkan oleh para sahabat dan selalu shalih.
KEDELAPAN, Ketika hari-hari menjelang Idul Fitri sibuk dengan persiapan lahir, tapi tidak sibuk dengan memasok perbekalan sebanyak-banyaknya pada 10 malam terakhir untuk memperbanyak ibadah. Lebih banyak berfikir untuk bisa merayakan Idul Fitri dengan berbagai kesenangan, tapi melupakan suasana akan berpisah dengan bulan mulia tersebut.
Rasulullah dan para shabat mengkhususkan 10 hari terakhir untuk berdiam didalam masjid, meninggalkan semua kesibukan duniawi. Mereka memperbanyak ibadah, dzikir dan berupaya meraih keutamaan malam seribu bulan, saat diturunkannya Al-Qur’an.
Pada detik-detik terakhir menjelang usainya Ramadhan , mereka merasakan kesedihan mendalam karena harus berpisah dengan mulia itu. Sebagian mereka bahkan menangis karena akan berpisah dengan bulan mulia. Ada juga yang bergumam jika mereka dapat merasakan Ramadhan sepanjang tahun.
KESEMBILAN, Ketika Idul Fitri dan selanjutnya dirayakan laksana hari merdeka dari penjara untuk melakukan berbagai penyimpangan. Fenomena ini sebenarnya hanya akibat dari pelaksanaan puasa yang tidak sesuai dengan adabnya. Orang yang berpuasa dengan baik tentu tidak akan menyikapi Ramadhan sebagai kerangkeng.
KESEPULUH, Setelah Ramadhan, nyaris tidak ada ibadah yang ditindaklanjuti pada bulan-bulan selanjutnya. Misalnya memelihara kesinambungan puasa sunnah, shalat malam, membaca Al-Qur’an.
Amal-amal ibadah satu bulan Ramadhan, adalah bekal pasokan agar rohani dan keimanan seseorang meningkatkan untuk menghadapi sebelas bulan setelahnya. Namun, orang akan gagal meraih keutamaan Ramadhan, saat ia tidak berupaya menghidupkan dan melestarikan amal-amal ibadah yang perbah ia jalankan dalam satu bulan.
Klo mo nggame klik aja http://www.miftahbanjar.com/halaman/games.html

Sunday, October 15, 2006

Pahala Ganda Membukakan Orang Yang Berpuasa

Hikmah Ramadhan 5

Pada setiap bulan Ramadhan yang popular dengan sebutan bulan Puasa, lazim terlihat antaran kue dan juadah ke Mushala dan Mesjid ataupun ketetangga guna keperluan berbuka puasa. Ada juga yang mengundang tetangga, kenalan, keluarga, untuk berbuka puasa bersama dirumahnya lalu shalat Magrib berjamaah bahkan ada yang dilanjutkan hingga Taraweh dengan diselingi ceramah agama atau pengajian singkat."Barang siapa memberikan makanan berbuka puasa kepada seseorang yang berpuasa (sedangkan dia sendiri berpuasa juga) niscaya dia memperoleh pahala sebagaimana yang diperoleh orang yang berpuasa itu dengan tidak kurang sedikitpun (tidak mengurangi pahala puasa orang yang dibukakan)".(riwayat Ahmad dari Zaid Ibn Khalid).Bayangkan bila sanggup membukakan orang yang puasa sampai ratusan. Asal dia sendiri juga berpuasa. Ikhlas, redho, tulus, tanpa noda riya, politis, atau diumumkan di Mushala dan Mesjid. Kecuali cukup ALLAH SWT yang tahu, niat Lillahi Taala.Nabi Muahammad SAW mengingatkan : Jika tangan kanan memberi usahakan tangan kiri tidak mengetahuinya. Orang yang sering membukakan orang yang puasa biasanya selalu ada saja rezekinya yang diberikan ALLAH Yang Maha Mengetahui dan Maha Pemurah. Sehingga pada Ramadhan berikutnya bertambah jumlah orang yang di buka kan puasanya.

Hargai Dan Hormatilah Orang Yang Puasa

Hikmah Ramadhan 4

Selama bulan Ramadhan umat Islam sedunia melaksanakan puasa fardhu Ramadhan. Namun tentu ada pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok tertentu yang non Muslim ataupun Muslim yang tidak melakasanakan puasa. Sesuai dengan adat ketimuran bangsa Indonesia yang selalu tenggang rasa, saling menghargai dan menghormati, maka setiap bulan Ramadhan selalu disampaikan himbauan itu. Namun sangat menyedihkan kenyataannya. Umumnya non Muslim lebih bisa menunjukkan tolerensi yang tinggi dan pantas, salut atas perhatian dan penghargaan mereka. Sebaliknya yang mengaku Islam (demi KTP atau demi apapun dan pengakuannya sendiri dan atau karena hanya turunan) tanpa alasan yang dibenarkan Islam untuk tidak berpuasa dengan tidak ada perasaan malu dan kesadaran secara demontratif bahwa ia gak puasa. Ia mempertontokan menentang perintah ALLAH SWT padahal ia mengaku umat dari Nabi Muhammad SAW. walaupun itu ditempat umum seakan bukan dalam bulan Ramadhan. Tapi mudahan kesadaran akan menghampiri mereka dan semoga usia bisa mempertemukan pada Ramadhan tahun depan, sehingga bisa bergabung dengan umat Muslim sedunia demi melaksakan Ramadhan seutuhnya.Amien.

Saturday, October 14, 2006

Nuzulul Qur'an

Hikmah Ramadhan 3

Beruntung dan berbahagialah umat islam sedunia, karena kita mempunyai kitab suci alqur'an yg tidak berubah sejak semasa rasulullah SAW masih hidup,1500 tahun silam. Sampai sekarang dan sampai sekarang dan sampai akhir zaman. Jangankan kata-kata ataupun hurufnya,titiknya saja tidak mengalami perubahan. Berarti ayat, surah, juz yg dibaca nabi muhammad SAW, para sahabat dan pendahulu serta syuhada islam , dengan yg kita baca sekarang ini, adalah sama. "iqra"ayat pertama yg turun di gua hara yg dibawa malaikat Jibril, malam 17 ramadhan bersamaan 6 Agustus 610 Masehi ;sekaligus menandai penetapan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulullah yg brtugas menyebarkan dan menegakkan Kalimah Allah. Ketika itu beliau berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari(menurut tahun dan bulan/qamariyah)atau 39 bulan 8 hari menurt matahari(syamsiah). "Bacalah dengan nama tuhan mu yg menjadikan. Yg menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmu teramat mulia. Yg mengajarkan dengan pena (tulis baca). Mengajarkan kepada manusia apa yg tidak diketahuinya". (Surah Al-alaq-segumpal darah ayat 1-5) bagi seorang muslim bersama keluarganya)istri, anak-anak, dan orang lain yg tinggal bersamanya), dituntut untuk dapat membaca Al-Qur'an, mempelajari isi kandungannya, mengerti dan mempratekkannya dalam kehidupan sehari-hari, agar berhasil dan berbahagia hidup di dunia hingga akhirat dengan mendapatkan Surga Firdaus. Tanpa mengerti Alqur'an ditambah Al Hadist(sunnah Rasulullah SAW). Maka keislaman seseorang bisa diragukan. Jika sudah terbiasa mengikuti ajaran Al-Qur'an dan Hadits, rasanya tidak ada perintah Allah yg maha bijaksana yg berat. Sebaliknya jika tidak dimulai sejak dini, maka rasanya sangat berat dan sukar. Misalnya:tidak boleh berbohong/berdusta. shalat fardu 5 waktu menjauhi zinah, munafik, durhaka, makanan yg haram dan tidak halal,judi, minuman keras, perbuatan merugikan orang lain,dan sebainya. Karena itu modal pertama ialah percaya bahwa Qur'an itu dari Alah SWT. Kemudian mencintainya dengan membaca, mempelajarinya, memahami/mengerti, dan mempratekkannya sehingga kita berbahagia di dunia dan berbahagia pula di akhirat. Insya Allah

Friday, October 13, 2006

Adab berbuka puasa

Hikmah Ramadhan 2

Berbuka puasa harus tepat pada waktunya, dan dianjurkan untuk tidak menundanya. "Tidak pernah sekalipun juga aku lihat Rasulullah SAW sholat Magrib lebih dahulu sebelum berbuka puasa, walaupun berbukanya dengan seteguk air saja"(riwayat Ibn Abdil Barr dari Anas bin Malik). Kebiasaan Nabi Muhammad SAW berbuka dengan memakan tiga biji kurma, atau sesuatu makanan yang tidak dimasak dengan api. Perut yang kosong seharian tidak baik diserbu oleh berbagai makanan, disamping itu bisa menghambat kelancaran sholat Magrib. Maka sebaiknya berbuka puasa dengan segelas minuman (lebih baik air putih saja) sedikit kue manis atau buahan yang manis (syukur bila kurma lagi). Kemudian menggosok gigi berwudhu melaksanakan sholat Magrib. Setelah sholat mandi lalu makan secukupnya, jangan sampai terlalu kenyang ntar malas Teraweh lagi.

Makan sahur dan sholat Subuh

Hikmah Ramadhan 1

Makan sahur merupakan kenangan manis dankhusus bagi keluarga muslim. Jika anak-anak mereka sudah besar dan dewasa, maka yang menjadi cerita keluarga yang menarik antara lain bagaimana suasana keluarga itu sekian tahun silam jika akan makan sahur. Ada yang mudah dibangunkan dari tidurnya, ada pula yang sudah siap menyantap makanan sahurnya eh malah tertidur kembali dihadapan makanan. Dan ada banyak kenangan lainnya. Ini hanya dirasakan oleh keluarga muslim yang taat serta disiplin melaksanakan puasa Ramadhan, sedang yang tidak..ya....Ramadhan berlalu bagai angin malam. "Bersahurlah kamu karena dalam makanan sahur itu ada keberkatan"(riwayat Akhmad, Al-Bukhari dan Muslim dari Anas). "Bersahurlah itu suatu keberkatan. Maka janganlah kamu meninggalkannya, Walaupun dengan hanya meneguk air seteguk; Karena ALLAH dan para malaikat bersholawat atas orang-orang yang bersahur"(riwayat Ahmad dari Abu Sa'id). "Bersahurlah kamu meski hanya dengan seteguk air"(riwayat Ibn Hibban dari Umar dari Rasulullah SAW). Setelah kita sepakat bahwa makan sahur adalah wajib bagi yang akan berpuasa Ramadhan, meski hanya seteguk air putih sekalipun. Sesuai namanya sahur maka waktunya sahar,bagian akhir dari sepertiga malam hingga mendekati permulaan siang. Nabi Muhammad SAW makan sahur mendekati waktu subuh sekitar selesai membaca 50 ayat Al Qur'an.(riwayat Bukhari Muslim dari Zaid Ibn Tsabit, yang pernah sahur bersama Nabi Muhammad SAW). Berarti orang bersahur antara jam 24.00 dan jam 2.00 itu bukan sahur namanya, tapi makan tengah malam. "Yang membedakan antara puasa Islam dengan puasa Yahudi Nashara ialah makan sahur"Muslim dari Amer Ibn Ash). Berarti sehabis makan sahur kita bersiap untuk sholat subuh, mandi dan berwudhu membaca Al Qur'an maka tak lama sholat subuh pun tiba.

Bonus di bulan Ramadhan

Suatu ketika, seorang alim diundang berburu. Sang alim hanya dipinjami kuda yang lambat oleh tuan rumah. Tak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya. Semua kuda dipacu dengan cepatnya agar segera kembali ke rumah. Tapi kuda sang alim berjalan lambat. Sang alim kemudian melepas bajunya, melipat dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda yang mereka tunggangi lebih cepat. Dengan perasaan heran, tuan rumah bertanya kepada sang alim, ”Mengapa bajumu tetap kering”. ”Masalahnya kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju”, jawab sang alim ringan sambil berlalu meninggalkan tuan rumah.
Dalam perjalanan hidup, kadangkala kita mengalami kesalahan orientasi (persepsi) seperti tuan rumah dalam cerita di atas. Kita menginginkan sesuatu namun tidak memiliki orientasi seperti yang diinginkan, sehingga akhirnya kita tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Begitu pula dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Banyak orang yang menginginkan ibadahnya di bulan Ramadhan dapat merubah dirinya menjadi lebih baik. Namun setelah Ramadhan, ternyata sifat dan perilakunya kembali seperti semula. Tak berubah secara signifikan. Ia hanya mendapatkan lapar dan haus. Persis seperti yang disabdakan Nabi saw, ”Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa pun, kecuali lapar dan haus”. Hal itu karena orientasinya keliru. Ia tidak tahu hikmah di balik keagungan bulan Ramadhan.
Salah satu dari sekian banyak hikmah Ramadhan yang sering dilupakan orang adalah fungsinya sebagai pembangkit semangat hidup. Ramadhan sesungguhnya adalah bulan motivasi (syahrul hamasah). Ramadhan semestinya mampu menjadikan setiap muslim yang beribadah di dalamnya menjadi termotivasi hidupnya. Coba kita lihat apa yang terjadi pada diri nenek moyang kita (para sahabat dan ulama sholihin) setelah ditempa Ramadhan. Mereka menjadikan Ramadhan sebagai ajang pembakaran semangat yang membara. Sejarah mencatat dengan tinta emas sepak terjang mereka yang produktif. Banyak orang yang tak tahu, karena memiliki motivasi yang tinggi, umat Islam terdahulu menjadi penguasa dunia selama lebih kurang 14 abad. Lebih lama daripada kejayaan Eropa. Apalagi dari Amerika yang baru berjaya di akhir abad ini.
Kejayaan Islam yang demikian lama di masa lalu tak bisa dipisahkan dari semangat nenek moyang kita untuk selalu bersemangat dan produktif dalam berkarya. Beberapa contoh bisa disebutkan disini. Ibnu Jarir, misalnya, mampu menulis 14 halaman dalam sehari selama 72 tahun. Ibnu Taymiyah menulis 200 buku sepanjang hidupnya. Imam Ghazali adalah peneliti di bidang tasawuf, politik, ekonomi dan budaya sekaligus. Al Alusi mengajar 24 pelajaran dalam sehari. Sedang Jabir bin Abdullah rela menempuh perjalanan selama satu bulan demi mendapatkan satu riwayat hadits. Fatimah binti Syafi’i pernah menggantikan lampu penerangan untuk ayahnya (Imam Syafi’i) sebanyak 70 kali. Semangat mereka terangkum dalam perkataan Abu Musa Al Asy’ari ra yang pernah ditanya oleh sahabatnya, ”Mengapa Anda tidak pernah mengistirahatkan diri Anda?” Abu Musa menjawab, ”Itu tidak mungkin, sesungguhnya yang akan menang adalah kuda pacuan!” Suatu ungkapan indah yang menggambarkan semangat yang membara, jiwa yang selalu ingin berkompetisi, berani dan pantang menyerah.
Semangat Itu Ada di Depan Kita Semangat nenek moyang kita yang luar biasa dalam beramal tak bisa dilepaskan dari orientasi mereka yang benar terhadap fungsi ibadah dalam Islam, termasuk fungsi ibadah Ramadhan sebagai ajang melejitkan motivasi (achievement motivation training). Beda dengan kebanyakan kaum muslimin saat ini yang lebih memahami ibadah Ramadhan sebagai kegiatan seremonial dan tradisi tanpa makna.
Beberapa bukti yang menunjukkan fungsi Ramadhan sebagai bulan pemotivasian adalah :
1. Shaum (puasa) Tahukah Anda bahwa kekuatan semangat dapat mengalahkan kekuatan fisik? Itulah yang Allah latih kepada kita di bulan Ramadhan. Selama sebulan kita dilatih untuk mengalahkan nafsu yang berasal dari tubuh kasar kita; nafsu makan, minum, dan seksual. Kenyataannya, di bulan Ramadhan kita mampu mengalahkan tarikan nafsu demi memenangkan semangat ruh kita. Sayangnya, latihan itu tidak dilanjutkan dalam skala kehidupan yang lebih luas dan dalam waktu yang lebih lama setelah Ramadhan, sehingga banyak di antara kita yang hidupnya tidak bersemangat dan produktif dalam beramal. Padahal kunci motivasi itu adalah kemampuan mengalahkan kekuatan fisik. Itulah yang kita lihat pada diri Abdullah bin Ummi Maktum ra yang matanya buta tapi ngotot untuk ikut berperang bersama Rasulullah. Juga pada diri Cut Nyak Dien atau Jenderal Sudirman, yang pantang menyerah kepada pasukan kolonial walau dalam kondisi sakit parah.
2. Tarawih Ramadhan Tarawih Ramadhan sebagai syahrul hamasah juga terlihat dalam pelaksanaan sholat tarawih. Sholat tarawih artinya sholat (di waktu malam) yang dilakukan dengan santai. Di zaman sahabat, sholat tarawih biasa dilakukan sepanjang malam. Dengan bacaan yang panjang dan diselingi juga dengan istirahat yang lama. Bahkan pernah dalam satu riwayat, para sahabat melakukan sholat tarawih berjama’ah sampai menjelang subuh. Hikmah dari ibadah tarawih yang dilakukan dengan santai dan tidak terburu-buru adalah untuk membentuk watak kesabaran dan ketekunan. Kita tahu, kesabaran dan ketekunan adalah kunci dari motivasi. Tidak mungkin seseorang itu termotivasi dan produktif berkarya tanpa memiliki sifat sabar dan tekun. Watak inilah yang dimiliki oleh nenek moyang kita, sehingga mereka menjadi umat yang jaya di masa lalu. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan sholat tarawih di masa kini. Dimana waktunya tidak lebih dari 1-2 jam. Bahkan seringkali dilakukan tergesa-gesa. Hikmah tarawih sebagai ibadah yang melatih watak kesabaran dan ketekunan menjadi hilang, sehingga lenyap pulalah salah satu sarana pelatihan umat Islam untuk menjadi orang yang termotivasi hidupnya.
3. I’tikaf Sarana lain yang disediakan Allah SWT untuk membentuk ruh semangat adalah i’tikaf. Ibadah i’tikaf berarti diam menyepi (untuk mengingat Allah) dan meninggalkan kesibukan duniawi. Bagi laki-laki, i’tikaf dilakukan di mesjid. Sedang bagi perempuan dilakukan pada ruangan khusus di rumahnya. Nabi Muhammad saw tidak pernah meninggalkan ibadah i’tikaf ini sepanjang hidupnya. Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang sholih sepeninggal beliau. Sudah menjadi hal yang lazim di masa nenek moyang kita bahwa setiap Ramadhan mesjid penuh dengan orang-orang yang i’tikaf. Bandingkan dengan kondisi sekarang. I’tikaf menjadi ibadah yang asing bagi kebanyakan kaum muslimin. Padahal ibadah ini sangat penting untuk kontemplasi diri. Dalam i’tikaf, kita melakukan uzlah (pertapaan) sebagai modal penting untuk bangkit dari keterpurukan atau sebagai momen untuk berubah. Nabi Muhammad saw berubah dari manusia biasa menjadi manusia luar biasa (nabi) setelah uzlah ke Gua Hiro. Lalu Allah menggantikan sarana uzlah tersebut dengan i’tikaf untuk kita. Agar kita meniru perubahan menjadi manusia luar biasa tersebut seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. Allah meminta kita agar mengulangi momen uzlah tersebut setiap tahun, sehingga kita selalu termotivasi untuk berubah semakin baik dari tahun ke tahun. Dari bulan ke bulan. Bahkan dari hari ke hari.
Nabi saw bersabda, ”Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemaren, ia celaka. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemaren, ia merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemaren, ia beruntung”. Ramadhan sebagai bulan pemotivasian seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh kita semua. Sungguh beruntunglah mereka yang menggunakan Ramadhan sebagai ajang peningkatan motivasi hidupnya. Lalu dengan modal Ramadhan ia mengisi hari-harinya di luar Ramadhan dengan semangat yang membara untuk beramal melesat ke angkasa kemuliaan. Sungguh, ada bonus dalam Ramadhan.

Sholat Taraweh

Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah adalah perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat tarawih. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya di masjid dan diikuti para shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun.
Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik 1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa' juz 4 hal. 14)
Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)
Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.
Sholat Tarawih Berjama'ahTidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut:1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.
Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al-Quradli, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang mereka lakukan?" Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang tidak bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah berbuat baik", atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka." (HR. Al-Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata: "Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada hadits-hadits pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal. 90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi).
Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih) bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur) sampai kami menyeru untuk sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang jelas bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini sampai beliau pun mendirikannya.")
Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau tadi malam mengajari kami (perkara dien)?" Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan itulah yang menyebabkan aku berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya sebagaimana di dalam Al-Jami' 3/173).
Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia shalat di masjid Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok-kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau enam orang atau kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi. Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam. Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja (pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu. Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid (sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?" Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar engkau shalat bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!" Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan." Pada riwayat lain ada tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada awal khilafah Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189, Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya demikian", maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan.
Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok."
Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya pada malam-malam tersebut. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan atas mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali."
Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air. Kemudian beliau berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku' dan ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku'nya: Subhana rabbiyal `adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku' dan lamanya berdiri seperti ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan mengucapkan dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud dan membaca di antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya. Kemudian sujud lagi dan membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271, Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).
Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata: Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat) sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam. Kami bertanya: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami pada sisa malam ini." Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih) bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2 dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)
Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat bersama imam..." jelas menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam. Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku mendengar Ahmad ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat bersama manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat seorang bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku kagum terhadap seseorang yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya seseorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata: "Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai."
Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam memiliki keutamaan khusus. Berjamaah lebih afdlal karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia di masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh karena itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman Umar radliyallahu `anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih hal. 15)
Jamaah Shalat Tarawih Bagi WanitaDisyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan dalil hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil keluarganya dan para istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus selain untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka'ab dan bagi wanita Sulaimanbin Abi Khatsmah.
Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadlan. Beliau menjadikan seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika itu sebagai imam perempuan."
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq meriwayatkan hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal. 95. Hal diterangkan secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal. 21-22.
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu." Jumlah RakaatnyaDi atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih berjamaah karena adanya penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa sebenarnya jumlah rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan. Dalam masalah ini ada dua hadits yang menerangkan:1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16 Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104)
2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir. Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian."
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at." Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.
Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11 rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat yang ringkas."
Kedlaifan Hadits 20 RakaatIbnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di atas (Al-Fath 4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan 20 rakaat dan witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari atau selainnya." Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur Rayah 2/153.
Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ini sangat dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatwa 2/73 dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh berkata di dalam At-Taqrib: Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah kucari sumber-sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid di dalam Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam Mu'jamul Kabir 3/148/2 dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al-Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-Khatib dalam Al-Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari jalan Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu'. At-Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan dia dlaif. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172: "Dia dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk". Inilah yang benar. Ibnu Main berkata: "Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah mendustakan kisah darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya."
Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal. 118 bahwa orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits mendiamkannya adalah derajat bagi orang tersebut yang paling rendah. Oleh karena itu aku berpendapat bahwa haditsnya dalam hal ini maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir yang telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al-Hafidh Adz-Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar). Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195 setelah menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan celaan) bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti hadits "Tidaklah umat hancur binasa kecuali pada bulan Maret" dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada bulan Maret" dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa diambil riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh."
Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al-Haitami sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat beramal dengan 20 rakaat, maka pikirkanlah!"
Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit amalannya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai puncak madzhab kami dan kami memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari dari Aisyah radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan melanggengkannya. Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla' setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20 rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya selamanya. Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga beliau mengucapkan seperti di atas."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat tentang pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat yang tersebut di dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya menambah jumlah rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadlan atau selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung selama hidup beliau dan beliau tidak menambahnya. Oleh karena itu marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah rawatib, shalat istisqa', khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga terus menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para ulama. Maka demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena ada persamaan dengan shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap bahwa ada perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.
Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga seorang yang shalat boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat tarawih adalah sunnah muakkadah yang menyerupai shalat-shalat fardlu dari segi disyariatkan jamaah padanya sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas untuk tidak ditambah."
Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang jumlah rakaat shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau berkata di dalam Shahihnya 2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada rakaat yang dia sukai. Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan bilangan-bilangan tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang dilaksanakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi seseorang sesuatu apapun."
Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 225-226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menambah atas apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara penguat apa yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab Shahihnya 3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab Shalat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan dalil tentang tidak mungkin ditambah pada bulan Ramadlan atas jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan Ramadlan." Kemudian beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di antaranya dua rakaat fajar."
Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau Sebanyak 11 RakaatTelah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka terus menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan berkelompok-kelompok di belakang beberapa imam, yang demikian terjadi pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar radliyallahu `anhu. Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar bin Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam niscaya lebih baik." Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka kepada Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar berkata: "Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang yang shalat karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal malam." (HR. Malik dalam Al-Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi 2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1.
Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah ini" atas dua perkara:1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil dengan adanya hadits-hadits yang telah lewat. 2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka mengkhususkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat' dan yang semisalnya. Hal ini juga batil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla' 2/591: "Ketika jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia pada satu imam dan menerangi masjid. Maka jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di masjid dalam keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa memang demikian dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya hal itu adalah amal shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang pulalah halangannya."
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat tarawih adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam rangka menghidupkan sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara bahasa, bukan syariat."
Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat. Adapun menurut syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang tidur darinya lebih utama daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir malam lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih sendirian itu tidaklah lebih utama daripada berjamaah."
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama daripada shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal. 42)
Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat adalah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248 dari Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan Tamim Ad-Dari agar shalat bersama manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar."
Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin Yusuf yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan Bukhari serta Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah shahabat Nabi yang pernah menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih kecil. Dari jalan Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-Fawaid 1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 1/496. Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab Shalatut Tarawih".
Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki dua kesalahan:1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini, walaupun riwayat tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf.Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh, pengarang yang masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan berubah hapalannya sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib. Dia digolongkan para perawi yang mukhtalith (bercampur hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat Mukadimah Ulumil Hadits hal. 407)
Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak boleh diambil setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang sulit sehingga seorang perawi tidak tahu apakah dia mengambil dari orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah bercampur hapalannya (Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga yakni tidak diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau sesudah bercampur hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima, walaupun diterima termasuk riwayat yang syadz (asing) dan menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar beliau yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, akan tetapi mursal karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam membawakan atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung cacat), misalnya: ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Syafi'i mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107."
Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab, Abdullah bin Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat semuanya dlaif. Lihat dalam buku Shalat Tarawih. Hal tersebut diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.
Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat. Ijma' ini tidak dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dlaif pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah 2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil.
Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 RakaatImam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77: "Dikatakan oleh Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam Malik menyatakan: Umar mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai. Ia adalah shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam."
Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan riwayat-riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya. Kalau mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam."
Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan beliau berkata: "Tidak ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12)
Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang erat-erat sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat, tidak menambahnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap kesesatan dalam neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97).
Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah seorang khulafa'ur rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka, kami akan mengatakan tentang bolehnya karena kita mengetahui keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta jauhnya mereka dari membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit maka kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan jumlahnya 42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah sebagaimana aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, mereka sering meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat seperti tuma'ninah, lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi orang-orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif.
QUNUT DALAM SHALAT WITIRImam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud:Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)
Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan ....
Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad) yakni Al-Hasan dari Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi: "Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani 1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau berkata: "Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai kesalahan.
Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan Ahmad Kedua, sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)
Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad, At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian penilaian Syaikh Albani).
Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.
Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid Sabiq: "Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama menyunahkannya dan sebagian lain tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166)
Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-Baihaqi mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke muka."
Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal. 47).
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin (keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133.
Doa QunutAl-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa 'aafinii fiiman 'aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita, waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita, laa manja minka illa ilaika.” Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa maa qadlait astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Wallahu `alam bisshawab.
Maraji':1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, SyaikhNashirudin Al-Albani6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif, judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32)
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara: Pertama. Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan. Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat: a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat." (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya ayyuhal kafirun" dan "Idza zulzilat." Penjelasan. Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir" maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunnah ba`diyah Isya.
KeduaShalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan. Penjelasan : Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama' seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba'diyah Isya.
Ketiga. Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat `atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya". Penjelasan: Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat."
Keempat. Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.
KelimaShalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam (maka genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk. Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.
PenjelasanDiriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu rakaat."
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara: a. Dengan sekali duduk dan sekali salamb. Duduk at tahiyat setiap dua rakaatc. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah "Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: "Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini adalah yang lebih utama.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.)

Thursday, October 12, 2006

Tentang aku

Aku anak Banjarmasin.
Kota kecil di kalimantan selatan salah satu daerah provinsi Indonesia.
Lahir dan sampai kini aku masih disini.

Tahun 1997 aku muncul kedunia ini.
Bayi lelaki yang dikasih nama Miftah Muhaemen.
Anak urutan nomer dua dalam saudaraku.

Sekarang aku sekolah dikelas empat sekolah dasar.
Site pribadiku http://www.miftahbanjar.com
Disitu kuisi tentang aku lebih rinci.

Semoga siteku disini sangat berguna.
Baik kini hingga kelak
Amien.